Waktu :: Telp (0644) 531755 Email home(at)unisai.ac.id
Info Kampus
Sunday, 15 Jun 2025
  • Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H Minal Aidin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir Bathin I كل عام و أنتم بخير
6 June 2025

Bersatu Dalam Ta’at Menghidupkan Semangat Pengorbanan Nabi Ibrahim dalam Keluarga & Umat

Friday, 6 June 2025 Kategori : Opini

Oleh: Mustafa Husen Woyla*

 

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ

Tak terasa, kita kembali disapa oleh gema takbir. Idul Adha 1446 Hijriah mengetuk pintu kalbu umat Islam di seluruh dunia. Ada yang sudah menyambut hari raya ini puluhan kali, ada pula yang baru kali pertama. Tak sedikit yang sudah pergi meninggalkan kita, kembali ke pangkuan Ilahi. Mari kita doakan mereka—saudara, sahabat, orang tua—agar ditempatkan Allah di sisi terbaik.
Tapi Idul Adha bukan sekadar hari raya daging. Ia adalah momentum refleksi yang paling dahsyat. Refleksi ketaatan. Refleksi pengorbanan. Refleksi kesabaran. Dan yang paling penting: refleksi persatuan dalam ketaatan.
Ujian adalah Bukti Cinta-Nya
Allah tidak menjanjikan jalan mulus bagi mereka yang mengaku beriman. Firman-Nya dalam Surah al-‘Ankabut (29):2-3:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji?”
Tak cukup hanya mengaku percaya. Ujian adalah harga yang harus dibayar untuk membuktikan keimanan. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam melewati ujian demi ujian: dibuang ayah, dibakar raja, tak punya keturunan, hingga diperintahkan menyembelih putra tercinta.
Tapi lihatlah bagaimana beliau menanggapi setiap perintah Tuhan dengan sikap “sami‘nā wa aṭa‘nā” kami dengar dan kami taat. Di sinilah makna sejati dari hidup sebagai mukallaf, yaitu orang yang diberi beban syariat karena ia telah baligh dan berakal.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. al-Balad: 4)
Keluarga Ibrahim: Simbol Harmoni dalam Ketaatan
Keluarga Ibrahim bukan keluarga biasa. Ini adalah rumah tangga profetik, rumah yang membesarkan para nabi. Tapi jangan dibayangkan sebagai rumah mewah yang bergelimang nikmat dunia. Justru sebaliknya: inilah keluarga yang diuji habis-habisan oleh Allah.
Mari kita telusuri perjalanan mereka.
1. Keluarga Pemahat Patung, Sang Pencari Tuhan
Ibrahim muda tinggal di Babilonia (Irak), negeri yang kala itu menyembah berhala. Bahkan, kelurganya sendiri adalah tukang patung. Tapi Ibrahim tidak ikut-ikutan. Ia mencari Tuhan sejati, bukan patung-patung bisu. Karena itu ia diusir, dibuang ke padang. Ia tetap taat.
2. Istri Subur dan Tak Subur
Sarah, istri pertama, adalah perempuan mulia nan setia, tapi tak kunjung diberi anak. Lalu Ibrahim menikahi Hajar, wanita salehah dari Mesir. Dari rahim Hajar lahir Ismail. Dari rahim Sarah lahir Ishaq. Dua jalur keturunan ini kemudian menjadi asal-usul dua rumpun kenabian: Bani Ismail (berujung pada Nabi Muhammad) dan Bani Israil (berujung pada Nabi Musa, Daud, Isa, dan lainnya).
Poligami yang dilakukan Nabi Ibrahim bukan karena syahwat, tapi demi dakwah, demi regenerasi risalah. Bahkan Sarah lah yang menyarankan pernikahan itu. Luar biasa keikhlasan sang istri.
3. Hajar di Padang Tandus
Bayangkan: istri dan bayi ditinggalkan di padang gersang, tanpa air, tanpa logistik. Hanya karena perintah Allah. Dan Hajar, wanita tangguh itu, tidak protes. Ia hanya bertanya: “Apakah ini perintah Allah?” Ketika dijawab iya, ia berkata: “Kalau begitu, Allah tak akan menyia-nyiakan kami.”
Itulah sebabnya air Zamzam muncul dari hentakan kaki Ismail. Sebuah keajaiban yang terus mengalir hingga kini.
4. Perintah Menyembelih Anak
Ini puncaknya. Ketika Ismail sudah remaja, Allah perintahkan Ibrahim menyembelih anaknya sendiri. Tidak di belakang, tapi disampaikan langsung:
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?”
Dan sang anak menjawab dengan kalimat yang membuat langit menangis:
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang sabar.” (QS. as-Shaffat: 102)
Tak ada pemberontakan. Tak ada lari. Bahkan anak kita hari ini, jangankan disuruh sembelih diri sendiri disuruh matikan HP saja susahnya setengah mati.
Tapi Ismail taat. Ibrahim taat. Hajar pun taat. Maka dari ketiganya, lahirlah sunnah besar: berkurban.
Persatuan Dalam Tiga Sabar
Keluarga Ibrahim tidak hanya mewariskan darah dan sejarah, tapi juga nilai. Nilai utama mereka adalah sabar yang bercabang tiga:
1. Sabar dalam Ketaatan (صبر على الطاعة)
Konsisten dalam shalat, puasa, zakat. Bangun subuh meski dingin. Beribadah meski sibuk. Tidak musiman.
2. Sabar dalam Menjauhi Maksiat (صبر عن المعصية)
Tidak tergoda ketika sendirian. Tidak korupsi meski bisa. Tidak menipu meski mudah.
3. Sabar dalam Musibah (صبر على البلاء)
Tetap teguh ketika sakit, kehilangan, tertimpa bencana. Tidak mengeluh. Tidak suudzan.
Orang yang memiliki tiga sabar ini, kata para ulama, pantas disebut muttaqin sejati.
Dari Rumah Taat Menuju Negeri Taat
Jika setiap keluarga meniru rumah Ibrahim, niscaya bangsa ini menjadi negeri yang penuh rahmat. Sayangnya, kita terlalu sibuk membangun rumah megah tapi lupa menata rumah tangga.
Tiap orang bicara soal perubahan, tapi lupa bahwa perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil: taat.
• Taat pada Allah dalam ibadah pribadi.
• Taat pada Rasul dalam sunnah-sunnah kehidupan.
• Taat pada pemimpin (ulil amri) dalam hal yang baik.
Bahkan dalam aqidah Ahlus Sunnah, kita diajarkan untuk tetap taat pada pemimpin meski ia zalim, selama tidak menyuruh maksiat. Mengapa? Karena kekacauan lebih buruk dari kezaliman.
Taat bukan soal tunduk. Tapi soal kesadaran spiritual. Karena itulah ketaatan tidak membuat hina, justru memuliakan.
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan beri jalan keluar dan rezeki dari arah yang tak disangka.” (QS. at-Talaq: 2-3)
Idul Adha: Bukan Seremonial Tapi Momentum Spiritualitas
Sayangnya, setiap tahun Idul Adha datang dan pergi tanpa mengubah banyak. Masjid ramai saat salat Id, tapi sepi saat Subuh. Daging kurban habis dibagi, tapi semangat taat tak ikut diwariskan.
Kita sering sibuk pada kulit: sapi apa yang dipotong, kambing siapa yang paling besar. Padahal inti Idul Adha bukan pada darah atau daging, tapi pada ketaatan.
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj: 37)
Jadi, mari kita koreksi: apakah kita sudah taat seperti Ibrahim? Apakah kita siap berkurban seperti Ismail? Apakah kita kuat seperti Hajar?
Jika belum, Idul Adha kali ini adalah kesempatan untuk memulai.
Penutup: Sebelum Daging Habis, Mari Taat Lagi
Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, Idul Adha adalah momen istimewa. Bukan karena liburnya. Bukan karena dagingnya. Tapi karena pelajarannya. Semangat Ibrahim tak akan mati jika kita terus menghidupkan:
• Sabar dalam taat,
• Ikhlas dalam pengorbanan,
• Bersatu dalam keluarga dan masyarakat.
Karena pada akhirnya, seperti jawaban Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya, “Kapan seorang hamba akan merasakan istirahat sejati?”
Ia menjawab:
“Ketika pertama kali menginjakkan kaki di surga.”
Sampai saat itu, mari terus melangkah. Taat terus, sabar terus, bersatu terus. Dalam keluarga, dalam dayah, dalam masyarakat, bahkan dalam berbangsa.
Jika Ibrahim bisa menyembelih ego, bisakah kita menyembelih kemalasan?
Jika Ismail bisa menyerahkan diri, bisakah kita menyerahkan waktu untuk ibadah?
Semoga Idul Adha ini bukan hanya rutinitas, tapi titik balik. Untuk menjadi manusia Ibrahim: yang kokoh, sabar, dan bersatu dalam taat.
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ

*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana KPI Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI) dan Khutbah ini disampaikan pada Idul Adha, 1446 H di Mesjid Agung Baitul Makmur, Aceh Barat